Waktu pulang sekolah anakku langsung menghampiri aku yang duduk diatas kendaraan roda dua. Berteduh itulah pilihanku untuk menghindari teriknya sinar matahari menjelang siang ini. Anakku sudah tampak tidak rapi lagi , tidak seperti tadi pagi. Rambutnya yang ditahan dengan bandana sudah terlihat berontak disana – sini, keningnya juga sudah basah oleh keringat atau saking kerasnya berpikir dan mengerjakan soal – soal yang kian hari kian sulit untu anak kelas awal sekolah dasar.
Dia memberikan tas warna biru kombinasi coklat kepadaku, berat rasanya tas ini. Mungkin semua buku di bawa anakku. Sikecil nggak tahu mana buku yang perlu dibawa dan yang harus ditinggal, kadang tas ini juga terisi mainan dari rumah. Maklum anak perempuan suka berkumpul dan bermain dengan teman perempuan lainnya. Memang sekolah menjadikan ajang bermain dan mengumpulkan mainan baru bagi anak – anak. Ya ilmu tangan diatas berlaku secara otomatis untuk anak – anak padahal mereka tidak mempelajari tersebut. Semakin banyak mereka membelanjakan uang untuk membeli mainan semakin banyak pula mereka beramal atau sekedar memberikan keuntungan dan memberikan rasa tenang karena barang dagangannya laku.
Tas biru ini terasa berat untuk pundak anak sekecil Nabila, aku menaruh di dekat pijakan kaki. Sambil naik keatas jok anakku bercerita di kelas ada temannya yang memiliki ayah seorang yang kaya dan memiliki banyak uang, mampu membeli kendaraan dan barang – barang lainnya. Sedangkan ada seorang teman yang kurang mampu dan tidak punya bahkan kereta anginpun sang teman tidak punya.
Ceritanya pada pagi hari sang teman ingin seperti anak – anak yang lain diantar orang tuanya dengan sepeda ke sekolah dan ditunggu sang ayah di depan gerbang sekolah sampai si anak masuk kelas dan tidak kelihatan lagi.
“ ya nanti ayah hantar sampai sekolah kalau kamu mau makan dulu sebelum berangkat” jawab sang ayah
“ ya…. Aku nggak biasa sarapan pagi, perutku jadi sakit habis sarapan” kilah sang anak.
Sarapan pagi bagi sebagian anak merupakan perang batin yang hebat, mungkin karena keterbiasaan.
“tapi kamu harus sarapan dan menurut sama orang tua” sahut ibu
“ nyuruh yang lain aja dech jangan sarapan….”masih sulit
“pokoknya kamu harus makan” cerocos ibu sambil terus membereskan dagangan untuk dijual di kereta nanti siang.
“yah….yuk cepat antar aku pakai sepeda ke sekolah….”jawabnya mengalihkan perhatian “ya tapi kamu sarapan dulu” jawab ayah pelan dengan sedikit kasihan, anaknya melwan perang batin untuk harus sarapan.
“sudah belum sarapannya?” tanya ibu dari dapur belakang dengan pembatas anyaman bambu.
“ya sebentar….”jawab ayah
“adik makan dulu ya … nanti segera berangkat, kalau nggak segera sarapan nanti terlambat”bujuk ayah. Akhirnya dengan langkah gontai si anak menuju piring kaleng yang sudah disiapkan di bangku bamboo panjang.
“yah dengan nasi kecap dan krupuk”keluh si anak. Dengan kebiasaa sarapan pagi memang menyehatkan badan dan pikiran tapi kalau sarapan dengan nasi kecap dan kerupuk apa nggak malahlemas otak.
“sudah segera makan saja, jangan dipikirin apa makanannya yang penting kenyang” bujuk ayah lagi
” nggak makanpun juga nggak apa – apa yah, dari pada hanya dengan nasi kecap dan kerupuk”jawab si anak.
”sudah segera habiskan, nanti keburu ibu kesini”bujuk ayah.
”ya…”jawabnya pendek sambil terus mengunyah nasi kecap tanpa selera. Nasi kecap itu terasa sulit meluncur di tenggorokan.
“sudah sarapannya?”tanya ibu tiba – tiba sampai di depan mereka berdua.
”tinggal sedikit”balas ayah segera melindungi sang anak.
“ya hebat sudah habis , yuk berangkat” jawab ayah menghindar ibu.
“sekarang adik tunggu disini ayah pinjam sepeda dulu” ayah bergegas pinjam sepeda ke tetangga.
“hore aku berangkat sekolah diantar ayah naik sepeda”teriak si anak kegirangan , segera dicium punggung tangan ibu dan secepatnya mengucapkan salam sambil berlari mengahampiri sang ayah yang menuntun sepeda di kejauhan.
”ayo yah kita berangkat…”jawabnya penuh gembira
”ya naiklah” jawab ayah pendek
“lho kok bannya kemps, trus bagaimana naikinnya yah?”tanya si anak bingung
“sudahlah, adik naik dan ayah akan dorong sampai sekolah”iba sang ayah, karena tadi pinjam sepeda ke beberapa tetangga audah dipakai semua tinggal sepeda ini punya Pak Haji dan kemaren ban depannya kemps. Mau bagaimana lagi demi keinginan anak dan penderitaannya terpaksa mau sarapan pagi tidak seperti hari biasanya, sang ayah akhirnya menuntun sepeda dengan langkah cepat biar sang anak tidak terlambat masuk kelas. Si anak tetap dongkol sampai tiba di depan gerbang. Dengan mencium punggung tangan ayah berakhir sudah kisah perjuangan tanpa penghargaan pagi ini. Ayah hanya mampu merenungi nasib, mau bagaimana lagi?
Begitu lah kondisi rakyat di Indonesia, yang sangat jelas jenjang kesejahteraan dan kemampuan hidupnya. Apakah negara kita sudah sejahtera, belum pasti jawabannya. Kalau kita mengembalikan pada bentuk tanggung jawab pemerintah, negara melalui pemerintah bertanggung jawab untuk mensejahterakan rakyat dan memberikan kehidupan yang layak untuk rakyatnya. Merinding rasanya mendengar cerita yang polos dari seorang anak yang masih layak mendapatkan kesenangan dan keceriaan.
Itu kisah rakyat yang nrimo, kalau mau kita lihat kisah sedih orang porong yang tetap hidup di pengungsian yang tidak layak dengan rutinita syang yang berubah mulai dari subuh sampai tidur lagi. Tidak seperti kehidupan sebelumnya, siapa yang bertanggung jawab?